Suatu siang di Kota Daeng ― Siang ini udara terasa sangat panas, belum lagi naik turun tangga berkali-kali bahkan berpindah-pindah gedung membuat keringat bercucuran. Entah sudah seperti apa penampakanku sekarang, kusut.
Saat ini sedang musim kemarau panjang, sejak memasuki pertengahan tahun hampir tidak pernah turun hujan di kota ini, itulah yang membuat urusan dengan berkas-berkas ini semakin runyam rasanya.
Sekarang tahun ketiga masa kuliahku, menjelang tahun keempat. Bisa dibilang sudah masa-masa terakhir, sangat cepat memang mengingat kebanyakan mahasiswa di luar sana baru mengurusi KKN di semester seperti ini. Tetapi itu masih kalah cepat, aku justru sudah banyak ditinggalkan oleh teman seangkatanku, mereka sudah menyematkan gelar sarjana mereka lebih dulu.
Di siang sepanas ini aku tau tempat yang paling tepat untuk mengusir hawa panas. Ruang berpendingin. Ini di lingkungan kampus, tidak sulit menemukan ruangan yang ada AC-nya, hampir setiap ruangan ada, tapi hanya satu yang menjadi tujuanku sekarang, di sanalah teman-temanku saat ini sedang berkumpul, bahkan yang sudah ‘bukan mahasiswa’ sekalipun, nanti ku jelaskan apa maksudnya itu.
Ruangan 3×7 meter itu berada di barisan bangunan sekretariat beberapa organisasi kampus. Bersisian tepat dengan sebuah ruang kuliah dan sebuah kantin, yang terakhirlah yang membuat tempat itu tambah spesial. Setahun terakhir ruangan itu tidak banyak digunakan oleh dosen atau untuk kegiatan kuliah, oleh karena itu beberapa mahasiswa menjadikannya tempat untuk belajar dan mengerjakan tugas—secara formalnya. Namun lebih sering dijadikan tempat bersantai dan beristirahat, lebih terasa seperti kosan milik bersama, karena bahkan makan siang juga sering dilakukan di sana. Kami menyebutnya ruang Workshop atau WS.
Ketika aku mulai membuka pintu, udara dingin terasa berhembus dari dalam, disertai suara gelak tawa dan obrolan yang sedang terjadi di dalam. Setidaknya ada 10 orang di ruangan ini, kebanyakan adalah teman sekelasku.
“Weh, ada mu lihat pak Abdi?”, Tanya salah satu dari mereka.
“Ku lihat tadi di lantai 4, kayaknya mau turun” jawabku mulai menyandarkan punggung ke dinding sambil duduk berlantai, melepas lelah dan gerah. Tidak ada yang spesial di dalam ruangan, sebuah meja besar setinggi 50cm ditutupi kain biru muda terletak di sudut ruangan dekat jendela. Dipenuhi buku dan makalah dari mahasiswa bertumbuk di bawahnya, sedang di atasnya dipenuhi barang hasil karya mahasiswa dari berbagai mata kuliah. Di sudut ruangan satunya sebuah meja lagi, lebih tinggi dari sebelumnya dengan kursi dan sebuah printer terletak di sampingnya. Searah dengan pintu depan terdapat pintu ke belakang menuju toilet. Dan yang paling penting adalah pendingin ruangan yang menempel di salah satu dinding.
“Iyo kesana ka pale dulu” segera berdiri dan hendak keluar mencari salah seorang dosen
“Tapi cek ko juga mobilnya, kalau masih ada berarti belum pi pulang” celetuk temanku yang lain menyarankan. Saat ini kami memang kebanyakan sedang mengurus berkas dan persiapan ujian meja. Itu tidaklah mudah, terutama untuk urusan menemui dosen penguji dan pembimbing, atau sekadar meminta tanda tangan. Entah mengapa sekarang para dosen terasa lebih jarang terlihat di kampus dibandingkan dulu ketika awal-awal kuliah, persis seperti benda sehari-hari yang tiba-tiba menghilang saat dicari.
Ruangan kembali ramai oleh celetuk dan canda masing-masing. Saling melempar gurauan lalu tertawa bersama. Kalau boleh jujur sebenarnya suasana dalam ruangan ini lebih banyak membantuku mengurangi lelah dibandingkan pendingin ruangan—itupun kalau pendingin ruangan memang mengurangi lelah. Berada di dekat mereka membuatku merasa tenang, meskipun mereka kadang menyebalkan dan sesekali menjadi seperti dosen yang memberikan tugas-tugas tambahan minta ini minta itu, tapi 3 tahun terakhir hal itu membuatku senang bersama mereka, ya para teman sekelasku.
Aku akan menjelaskan mengapa disebut sekelas. Di jurusan ku, Jurusan Matematika, ada 2 program studi, pendidikan dan non-pendidikan. Program studi pendidikan ada 2 sub-kelas di bawahnya, sedangkan non-pendidikan hanya satu, itulah kelasku. Disebut sekelas karena kebanyakan mata kuliah kami memang selalu bersama, dan tidak ada kelas lain di prodi kami.
Selain sebagai tempat istirahat, di WS ini kami juga banyak menghabiskan waktu untuk mengerjakan skripsi. Lembaran-lembaran kertas yang menentukan nasib gelar sarjana kami.
Jaringan internet yang kencang sangat membantu di sini, ditambah orang-orang yang tadi kusebut ‘bukan mahasiswa’. Mereka sebenarnya adalah temanku yang sudah sarjana lebih dulu, tidak langsung meninggalkan dunia kampus karena beberapa alasan, salah satunya membantu kami-kami yang belum sarjana. Alasan paling masuk akal selain karena mereka belum mau pulang kampung atau belum punya pekerjaan di awal masa sarjana.
“Tidak lama lagi akan selesai semua ma ki dih!” Temanku berkata di sebuah keheningan di sela-sela obrolan
“Bakalan pisah ma ki semua” yang lain menimpali
“Kayaknya bakalan kurindukan semua di Gamma kecuali Kak Ame”
“Na besok itu kalau sudah ko wisuda mu lupa ma”
Seketika tawa kembali memenuhi langit-langit ruangan. Kalimat canda sederhana yang setahun setelahnya membuatku merasa benar-benar merindukan mereka, dan suasana seperti itu.
* * *
Setahun setelahnya, saat ini masa itu sudah tertinggal di belakang. Hanya menyisakan ratusan foto dan video acak yang diambil pada banyak momen. Tersimpan berfolder-folder pada memori laptop.
Entah apa sebabnya, prospek malam-malamku sebulan terakhir diisi dengan mengingat potongan-potongan kejadian di masa itu, banyak hal yang terlintas satu persatu di depanku seperti televisi rusak yang menayangkan hal sama berulangkali.
Jika dibuat dalam sebuah video ala sinetron murahan yang banyak di televisi, mungkin akan tampil seperti rekaman slo-mo klasik dengan filter sepia dan backsound lantunan instrumen piano. Murahan sekali memang, tetapi begitulah faktanya. Mungkin cuma aku yang mengalami hal klasik seperti itu atau mereka juga demikian, ya, mereka, mereka yang sedang kubahas dalam tulisan ini.
Aku tidak tau dengan cara apa aku mengatakannya. Menghubungi mereka satu persatu lalu bilang aku merindukan kalian!?
Mereka akan menimpukku dengan kalimat, ‘lagi butuh apa ko nah?’ atau ‘apa sudah mu makan weh?’ atau bahkan ‘mau ko pinjam uang?’
Dalam banyak kisah, urusan perasaan memang akan selalu demikian polanya, muncul perasaan, bingung cara mengungkapkannya, dilema akan diungkapkan atau tidak.
Tapi kalian jangan berpikir ‘kotor’ tentang kisah cinta dua insan manusia. Ini tentang merindukan 28 orang, dan bukan cuma orangnya tetapi juga suasana yang tidak akan pernah terulang. Ya seperti kata sejarah, sejarah tidak akan pernah terulang. Jasmerah
Oke, mari kita tinggalkan topik tentang perasaan. Ada banyak orang yang tidak suka berlama-lama membahas perasaan.
Setahun setelah masa-masa itu, sudah sangat banyak hal yang berubah, selain karena perawakan kami yang semakin lama semakin dewasa—aka tua, kami juga telah terpisah jarak bahkan pulau. Sebenarnya itu hanya masalah ‘eksak’, yang benar-benar memisahkan kami adalah masa dan kesibukan masing-masing.
Masanya mungkin telah usai, ibarat novel, sudah sampai di epilog nya menjelang ending—atau bahkan sudah melewati endingnya. Mungkin tidak semua, setidaknya bagiku.
Perlahan satu persatu mulai hilang kabarnya, mulai jarang muncul dalam percakapan di media sosial internet. Sejujurnya aku salah satunya, aku tidak terlalu nyaman berlama-lama dalam media sosial seperti orang-orang, tetapi aku lebih senang menghubungi mereka satu persatu. Tidak semua, hanya beberapa yang mungkin tidak akan terganggu dengan kehadiranku.
Beberapa membuatku merasa kembali ke masa itu, dengan canda dan celetuk yang masih sama, beberapa pula bahkan tidak sempat membaca atau membalasnya. Aku tau, itu bukan salah mereka, sama sekali bukan, kalau ada yang harus disalahkan, maka itu adalah mereka yang tidak berhenti terbang di sekelilingku, berbisik dan mendesign tepat di telingaku, entah apalagi yang mereka inginkan setelah menyedot darahku ‘apa kalian tidak tau aku sedang galau!?’ bentakku galak. Mereka tiba-tiba terbang menjauh yang semenit kemudian kembali lagi, persis seperti rasa rindu ini, semakin diusir semakin banyak yang datang, betah nian merundungi diri.
Sebenarnya aku merasa masih memiliki hutang pada beberapa diantara mereka, ada banyak sekali kebaikan yang entah bagaimana membalasnya. Atau mungkin juga masih ada hutang dalam artian sebenarnya yang luput dari ingatanku—siapapun yang membacanya dan merasa, harap sampaikan kepadaku, cukuplah kita berurusan hutang di dunia, jangan di akhirat, kurs di akhirat sana tidak ada yang tau.
Terkadang terbesit bahwa mungkin selama ini aku bukanlah teman yang baik, kurang peka dengan keadaan, dan tentunya pemalas, apalagi pada tugas-tugas yang dikerjakan secara berkelompok.
Alamak sampai keringat dingin saat itu, gelisah menghadapi tugas-tugas yang sebentar lagi harus dikumpulkan. Atau gugup memikirkan besok akan tampil presentasi di depan kelas sibuk mengingat ini itu. Sedang si pemalas satu ini, apa pula yang ada di pikirannya. Dulu keadaannya begitu. Ketika diingat lagi seperti sekarang justru terasa lucu dan menggelikan.
Dalam banyak hal terkadang pikiranku sedang jauh meninggalkan ragaku, berkutat dengan berbagai pilihan, dengan keputusan yang harus diambil atau dengan cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Tidak jarang berhasil tapi lebih banyak yang gagal, bersiaplah aku menerima omelan, karena tidak melakukan apa-apa.
Sekarang ada lebih banyak tantangan dan masalah dari sekadar kuliah dan tugas-tugasnya, itu masih sangat mudah. Kuliah tentang kehidupan jauh lebih rumit, mata kuliah dengan SKS terbanyak dimana jumlah mahasiswa hanya satu orang setiap kelas, jangan harap ada kata menyontek. Setiap mahasiswa bebas menentukan siapa yang akan jadi dosennya. Tugas tambahan tidak akan ada habisnya, untuk menentukan mahasiswa kehidupan yang layak mendapatkan tempat terbaik setelah ‘wisudak kehidupan’ kelak. Kabar baiknya ‘rektor kehidupan’ tidak akan pernah lelah mendengar keluhan mahasiswanya, setiap permintaan akan Dia dengarkan, jika berbaik hati Dia akan mengabulkannya.
Aku berharap aku, mereka, dan kalian—para pembaca yang budiman dan budiwati—bisa melewati kuliah kehidupan dengan sebaik baiknya, jangan pernah menyerah, karena jika gagal maka tidak ada yang namanya remedial apalagi mengulangi mata kuliah ditahun depan. Tenang saja kuliah ini tidak sesulit yang dibayangkan kalau mulai paham dengan ‘materinya’. Ada ‘modul’ kuliah kehidupan yang selalu bisa dibaca hingga kapanpun. Dan semoga kelak kita akan ‘wisuda’ bersama di tempat yang terbaik.